Langsung ke konten utama

di Ujung Jungkit Pisau Dua Mata; Seni Adalah Hidup, Vas

duh, kupikir ketika melangkah ke sini berdebu sekali. serpihan memori membuat batukku timbul. tulis beraneka bentuk itu membuat mataku kabur. 

Vas, kupikir, malam-malam begini enak kali, ya, menggalau perihal diriku yang dulu? sebab sudah terlalu lama daging ini mengeras menjadi batu. pun, tak ayal pikirnya terbelenggu. 

banyak yang ingin kuceritakan selama setahun ini, Vas. 

mulai dari pagiku yang selalu unik, antre kamar mandi, dan pergi berkelana mencari madu (yang katanya penuntut ilmu). tapi, Vas, di tengah-tengah, banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepalaku. tentang; kenapa, ya, aku terlalu mudah memberikan kasih pada mereka yang bahkan berpaling ketika kumintai raih? bagaimana bisa kuberikan jerih pada mereka yang bahkan tidak peduli pada ada tidaknya daging penuh lumpur ini? 

pada hal yang setiap hari dicoba diraih, aku tenggelam dalam lubang cantik tapi mengerikan, Vas. 

kulihat, tidak ada yang mau barang sekedar melihat apakah makhluk ini masih hidup. 

tidak ada yang peduli pada teriak penuh sakit yang menyerang kepala. akibat dari kebaikan yang ditabur, akankah semua berbalik seperti pisau yang bermata dua, Vas? yang katanya menusuk meskipun diarahkan ke tujuan yang tidak sama. 

oh, pisau, ya? 

kelihatannya, kok, mengerikan sekali analoginya. 

tidak, kok. hanya candaan saja. toh, kalimat yang meluncur itu seperti harimau, kan? bagaimana itu bisa terlihat mengerikan? 

bahkan hancur, pun takut membantingnya. dia sudah terlalu lama. angin mungkin menyamarkan lukanya. tapi tiup itu juga membuat tubuhnya meremang. kulihat dia hampir jatuh, Vas. tapi berhasil diraih oleh diri yang satunya. 

hebat, kan? 

dibalik lakban yang menjahit mulutnya, dia mencoba berbicara. bahwasanya; tidakkah itu menyedihkan? kenapa harus mempertanyakan dirimu yang lamban? dirimu yang terabaikan? dirimu yang sendirian, jika kamu yang membuat itu semua. selayaknya badai yang timbul karena doa lautan, kamu yang membuat dirimu tertanam dalam badai. yang kataku kamu buat itu, bukankah itu yang namanya perjalanan hidup? 

kamu pikir, segampang apa hidup tanpa ada rasa-rasa semua itu? 

bilang saja kamu menyerah kalau begitu. 

dialogmu tanpa perasaan. kuas ini sudah kasar. kanvas ini sudah usang. kenapa ditambah sayatan dari yang katanya dibuat untuk menjadi cantik dan elegan? 

maka, cantik itu luka. 

impian-impianmu hampir terwujudkan. tidak bisakah sabar sebentar? komedi sekali kalau kamu ingin mendengar kata terimakasih.

baik, karena seni adalah hidup, maka,

terimakasih sudah sejauh ini. terimakasih sudah mampu berdiri diatas apapun yang terjadi.

hiduplah berkali-kali lagi, terlukalah seribu kali nanti. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katanya, "Semangat, ya!" Perlu Sedikit ke Barat

 Vas, malam-malam ini terasa berat. Jalanan yang kulalui sedikit gelap dan tak berperasaan. Rambunya pun kadang hijau atau merah tiba-tiba. Aku kadang berhenti dan hampir tertabrak, Vas. Namun, tidak berhenti begitu saja ketika darah keluar dari kulit yang tergores aspal, maka keping-keping kesakitan mana yang ikut lebur, Vas?  Telepon ini kubuat lagi, kali ini dengan sedikit senyum yang dipaksakan dan sedikit air yang mengintip di sudut mata, bergerak ingin turun begitu saja. Vas, kupikir semuanya akan mudah, jikalau tidak, mungkin, cukup lancar saja. Namun, yang katanya emas, kurasa aku belum bisa mendeskripsikannya. Terlalu abstrak, Vas. Bahkan, jika di mataku dia adalah lingkaran, mulutku akan tetap berkata dia tak berbentuk, Vas.  Vas, dunia ini apakah kejam?  Namun, Vas, jika memang kejam bukankah setiap hal ada yang katanya alasan?  Alasan itu aku coba memahaminya. Dengan terseok atau merangkak, dengan sombongnya aku mengatakan akan menempuhnya. Namun, Va...

Vas, selamat malam. jurnalku sudah kamu baca, kan?

malam, Vas aku hanya sedang penasaran, apa semua tulisanku kamu baca? atau setidaknya... salah duanya? atau kalau masih keberatan, salah satunya? atau... sepenggal kalimatnya?  aku baru mendengarmu mengatakan bahwa mawar hitam adalah simbol luka keabadian. tapi, tidakkah itu terlalu metafora untuk kisah kita yang hanya sekedar temu saja?  kadang, kalimatmu memang membingungkan. maaf.  bagaimana luka bisa abadi jika hatimu yang diatas sana sudah disuap sembunyi-sembunyi?  aku mendengar bulan bernafas malam ini. lalu angin membawa nama-nama yang pernah kuserahkan pada langit kembali. jika begitu, apa aku harus meraihnya dan menguburnya di dalam tanah, begitu?  yang sebelumnya berada di langit, harus ditanam seakan benar-benar sudah mati?  kejam sekali kamu.  ketika daun tumbuh tanpa musim gugur, siapa yang akan membawanya menari diatas atmosfer bumi yang begitu sejuk?  aku hanya penasaran.  bagaimana jika aku tidak benar-benar kembali?  ka...

Malam ini, pukul 12.

 Sedari kecil, aku memeluk diriku sendirian. Ramai. Tapi mungkin hanya di permukaan. Saat jantungmu terluka dan dirimu tak bisa menyembuhkan sendirian, maka akan dibiarkan tetap menganga, kan?  Kurasa, aku baru melewatinya kemarin senja.  Berjalan tanpa beban di pematang sawah. Agak tinggi seperti bukit. Kukira, ini gambaran pendakian yang sering dibicarakan orang-orang ya?  Lalu, waktu berlalu seperti sinar kamera. Cepat sekali sampai setiap malam harus tidur dibawah atap orang luar.  Kadang-kadang, aku bertanya, apa yang sebenarnya dicari?  Dunia tanpa satu orang akan tetap berjalan. Koordinatnya tak akan berubah, kan?  Lantas, kenapa tetap terburu-buru dan melahirkan harapan berupa mimpi berkontribusi setidaknya untuk orang-orang yang menunggu di rumah?  Ketika masa putih biru, aku mulai merancang masa depan. Kupikir, harus tetap fokus seperti itu agar tetap berjalan. Namun, tidak ada yang memberitahuku setidaknya sesuatu tidak harus berjalan d...