Sedari kecil, aku memeluk diriku sendirian. Ramai. Tapi mungkin hanya di permukaan. Saat jantungmu terluka dan dirimu tak bisa menyembuhkan sendirian, maka akan dibiarkan tetap menganga, kan?
Kurasa, aku baru melewatinya kemarin senja.
Berjalan tanpa beban di pematang sawah. Agak tinggi seperti bukit. Kukira, ini gambaran pendakian yang sering dibicarakan orang-orang ya?
Lalu, waktu berlalu seperti sinar kamera. Cepat sekali sampai setiap malam harus tidur dibawah atap orang luar.
Kadang-kadang, aku bertanya, apa yang sebenarnya dicari?
Dunia tanpa satu orang akan tetap berjalan. Koordinatnya tak akan berubah, kan?
Lantas, kenapa tetap terburu-buru dan melahirkan harapan berupa mimpi berkontribusi setidaknya untuk orang-orang yang menunggu di rumah?
Ketika masa putih biru, aku mulai merancang masa depan. Kupikir, harus tetap fokus seperti itu agar tetap berjalan. Namun, tidak ada yang memberitahuku setidaknya sesuatu tidak harus berjalan di satu titik. Tidak ada yang memberitahu bahwa koordinat bisa diubah, jarum bisa diputar manual.
Tapi, bukankah itu sudah terlambat?
Sekarang benar-benar menemui realita.
Yang kutinggalkan beberapa tahun silam, datang lagi menyapa. Lagaknya biasa saja, tapi ada yang terasa hilang ya?
Yang paling kutaruh sampai jatuh terlalu dalam... sudah benar-benar tidak bisa kembali, begitu, kan?
Maaf, tapi aku sudah melupakannya berkali-kali. Hanya satu yang masih kusimpan. Memori-memori lama tidak ingin kuhapus. Tidak apa-apa, hanya untuk kenangan masa tua saja.
Namun, sekali lagi kepalaku terasa sangat kacau.
Jadi tolong, buat satu alasan dimana aku bisa melepas semuanya tanpa sisa. Setidaknya, sampai aku benar-benar tidak akan lagi menaruh jejak. Atau sekedar bermimpi menjelajahi dunia penuh harapan bersama tangan yang pernah kulepaskan karena validasi masa depan.
Komentar
Posting Komentar