Langsung ke konten utama

Ketika Tuhan ... [Tersenyum Mendengar Pertanyaan Bodoh dari Aku]

ketika Tuhan merencanakan membentukku dari seorang Ibu dan Ayah yang kuat, aku sungguh penasaran, apa yang dulu dipikirkanNya? 

ketika Tuhan berpikir sudah cukup baik merancang takdirku sampai di tahun ke-19 ini, aku penasaran, apa yang Dia janjikan sampai aku mau dilahirkan ke Dunia yang sungguh kejam dan bengis? meskipun seluruh kilas kehidupanku sudah ditampakkan. apa yang membuatku kuat dan yakin bisa menjalaninya? 

ketika Tuhan meniupkan ruh yang nantinya akan berlumuran lumpur busuk ini, apa yang dikatakanNya sampai membuatku bertahan sejauh ini? tidakkah itu suatu hal yang baik? yang menyenangkan? 

seperti seorang badut yang percaya pada Tuannya, aku penasaran, di hari keberapa aku akan menerima takdir yang begitu kejam? mengiris sendi kehidupanku setiap malam, setiap jam. 

ketika mulai dewasa dan bertemu orang yang menjadi motivator banyak orang, aku sempat bertanya; bagaimana kalau kita tidak sama? apa arti kebahagiaan kalau kita berbeda? 

tahu apa jawabannya? 

"kamu hanya kurang keluar. coba, deh, sesekali tengok orang lain. kalau orang lain bisa, kenapa kita enggak?"

oh, tentu saja kalimat terakhir itu benar. tapi, yang perlu kupikirkan ulang adalah kalimat pertamanya. 

kenapa aku kurang keluar? 

kenapa aku harus keluar? 

kenapa aku harus membuat hatiku makin mati rasa dan menebar kebencian pada mereka yang menutup hidungnya? 

lantas, muncul begitu saja pemikiran-pemikiran gila yang lucu. membuatku merasa; Tuhan ini memang sengaja membunuhku pelan-pelan, ya? dengan batinku sendiri? tunggu, deh, sisi negatif mana yang kubuat? bukankah itu takdir dariNya? lantas, kenapa harus diberikan padaku seperti ini? kenapa sisi negatif ini terus menerus tumbuh? apa itu takdirNya? 

jika bukan, apa Tuhan itu hanya mewakili yang baik-baik saja? lalu, kenapa sisi negatif itu ada? 

tidakkah dia Maha Mendengar? lantas, kemana doa yang kuucapkan selama ini? oh, apakah kurang tulus? tapi aku hanya manusia biasa, bukan Nabi, bahkan sekelas raga pun menghianati jiwaku. bagaimana aku bisa mencintaiMu setulus yang Kau mau? 

apakah ternyata aku terhasut yang Tuhan benci? seorang angkuh yang tidak mau sujud kepada Adam? 

tentu, mungkin 20% begitu. 

"Aku masih mengasihimu. Kau masih hidup, berkecukupan, bisa melafadzkan pujian kepadaKu."

kiranya jika Kau katakan begitu, bolehkah aku bertanya dua hal yang begitu menggangguku? 

pertama, apa yang menungguku di masa depan sampai aku kuat seperti ini? tentu saja aku tidak yakin makhluk lain dari ciptaanMu itu mampu menanggung bongkahan batu tajam di pundaknya, di mata dan hatinya. 

kedua, dari pertanyaan pertama, mungkin ini akan berkaitan, tapi tidak apa, deh, aku ingin menyebutkannya saja; kenapa Kau takdirkan aku begini? punya lebih banyak variabel potensi tapi menahanku dengan rantai besi di mulutku? dia terkunci. Kau membuang kuncinya entah kemana. aku tidak bisa menemukannya sampai saat ini. ah, atau .... Kau sengaja sembunyikan dibalik jubah KebesaranMu? 

itu saja, deh, malam ini. 

err ... satu lagi! 

jika salah satu makhluk ciptaanMu ada yang mengatakan 'dasar makhluk tidak tahu diri! dasar tidak punya adab kepada Pencipta! dasar manusia gila!' kujawab apa, ya? apakah harus kubeberkan semua yang berjejal di otak kecilku? haruskah kukatakan dia berhasil membuat goyah pendirianku kepadaMu? 



Oh! 






atau.... 








harus kukatakan bahwa,












aku tidak sedang membahas surga dan neraka disini?











aku ..... 

















hanya ingin bertanya, 














aku .....
















bingung,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Katanya, "Semangat, ya!" Perlu Sedikit ke Barat

 Vas, malam-malam ini terasa berat. Jalanan yang kulalui sedikit gelap dan tak berperasaan. Rambunya pun kadang hijau atau merah tiba-tiba. Aku kadang berhenti dan hampir tertabrak, Vas. Namun, tidak berhenti begitu saja ketika darah keluar dari kulit yang tergores aspal, maka keping-keping kesakitan mana yang ikut lebur, Vas?  Telepon ini kubuat lagi, kali ini dengan sedikit senyum yang dipaksakan dan sedikit air yang mengintip di sudut mata, bergerak ingin turun begitu saja. Vas, kupikir semuanya akan mudah, jikalau tidak, mungkin, cukup lancar saja. Namun, yang katanya emas, kurasa aku belum bisa mendeskripsikannya. Terlalu abstrak, Vas. Bahkan, jika di mataku dia adalah lingkaran, mulutku akan tetap berkata dia tak berbentuk, Vas.  Vas, dunia ini apakah kejam?  Namun, Vas, jika memang kejam bukankah setiap hal ada yang katanya alasan?  Alasan itu aku coba memahaminya. Dengan terseok atau merangkak, dengan sombongnya aku mengatakan akan menempuhnya. Namun, Va...

Vas, selamat malam. jurnalku sudah kamu baca, kan?

malam, Vas aku hanya sedang penasaran, apa semua tulisanku kamu baca? atau setidaknya... salah duanya? atau kalau masih keberatan, salah satunya? atau... sepenggal kalimatnya?  aku baru mendengarmu mengatakan bahwa mawar hitam adalah simbol luka keabadian. tapi, tidakkah itu terlalu metafora untuk kisah kita yang hanya sekedar temu saja?  kadang, kalimatmu memang membingungkan. maaf.  bagaimana luka bisa abadi jika hatimu yang diatas sana sudah disuap sembunyi-sembunyi?  aku mendengar bulan bernafas malam ini. lalu angin membawa nama-nama yang pernah kuserahkan pada langit kembali. jika begitu, apa aku harus meraihnya dan menguburnya di dalam tanah, begitu?  yang sebelumnya berada di langit, harus ditanam seakan benar-benar sudah mati?  kejam sekali kamu.  ketika daun tumbuh tanpa musim gugur, siapa yang akan membawanya menari diatas atmosfer bumi yang begitu sejuk?  aku hanya penasaran.  bagaimana jika aku tidak benar-benar kembali?  ka...

Malam ini, pukul 12.

 Sedari kecil, aku memeluk diriku sendirian. Ramai. Tapi mungkin hanya di permukaan. Saat jantungmu terluka dan dirimu tak bisa menyembuhkan sendirian, maka akan dibiarkan tetap menganga, kan?  Kurasa, aku baru melewatinya kemarin senja.  Berjalan tanpa beban di pematang sawah. Agak tinggi seperti bukit. Kukira, ini gambaran pendakian yang sering dibicarakan orang-orang ya?  Lalu, waktu berlalu seperti sinar kamera. Cepat sekali sampai setiap malam harus tidur dibawah atap orang luar.  Kadang-kadang, aku bertanya, apa yang sebenarnya dicari?  Dunia tanpa satu orang akan tetap berjalan. Koordinatnya tak akan berubah, kan?  Lantas, kenapa tetap terburu-buru dan melahirkan harapan berupa mimpi berkontribusi setidaknya untuk orang-orang yang menunggu di rumah?  Ketika masa putih biru, aku mulai merancang masa depan. Kupikir, harus tetap fokus seperti itu agar tetap berjalan. Namun, tidak ada yang memberitahuku setidaknya sesuatu tidak harus berjalan d...