Untuk yang jiwanya harus mati,
Bolehkah ombakmu ditahan sebentar? bolehkah badaimu reda sebentar? bolehkah kilatmu tak kau nampakkan sebentar?
Untuk jiwa-jiwa yang harus mati,
Hujan kali ini tidak membawa kenangan, bukan? tidak pula membawa kebahagiaan. embun kali ini dua kali lebih dingin dari tahun lalu. tapi, tetap. tidak ada yang tumbuh seperti harap-harap yang senantiasa ingin berlabuh.
Gelap dan temaram.
Tidak ada kehangatan.
Duduk di kursi sembari mengeja laku semesta, berdiri berhadapan dengannya, mungkin tak merubah banyak, bukan?
Jiwa-jiwa itu tetap sama.
Lantas, bolehkan lepas penat ini dulu sebentar? Bukalah pasung ini sekedar(?)
Jiwa ini tidak akan lari, hanya saja—mungkin sedikit merepotkan—dia akan berbicara keras-keras, memaksamu mendengarnya setiap waktu, bahkan, bisa membuat telingamu pengang, mungkin?
Tapi, laku merepotkan itu tak pernah datang. Itu hanya angan.
"Siapa yang jiwanya sudah mati? Siapa yang jiwanya bisa kembali?"
Retorika itu tetaplah tidak terjawab. Angannya tak pernah terjamah. Bisik tangisnya tak pernah ada yang mendengar. Suara paraunya tak pernah lagi keluar. Dia hanya menangis dalam kegelapan, kesendirian. Menikmati kecam otaknya yang memaksanya untuk tetap hidup,
hidup
dan hidup.
Lalu ketika waktunya tiba, ketika fantasi yang dibangunnya hancur karena angannya, dia akan kembali diam.
Tidak ada tawa, air mata, duka, dan juga...
Sukma.
Komentar
Posting Komentar