Malam itu sendu. Tepat sekali ketika ingin mengadu nasib kala rindu menggebu-gebu. Dalam diam mungkin tak terutarakan. Namun sebenarnya tak demikian. Ada rasa ingin jumpa, ada harap yang ia pinta pada semesta. Entah kenapa sabarnya terlalu lama. Rindunya dibiarkan semakin menganga. Padahal ia tahu, ia bisa jumpa jika ia mengungkapkannya.
Ia datang dengan segala pengharapan, mengundangku untuk duduk disisinya, bersiap memulai cerita perihal rindunya. Ia bersenandung pelan, mengawali ceritanya ditemani berlembar kertas kosong juga lilin yang menyala terang, ditengah gelapnya semesta yang tak memberikan cahayanya.
Kobar lilin itu menyala seperti rindunya.
Dalam lembar kosong ia tuliskan sebuah nama yang ia rindukan. Ia tulis pelan-pelan. Ia tulis penuh pengharapan. Inginnya, ia akan melihat nama yang ia tuliskan terbaca indah, nama yang ia rindukan.
Kutanya, kenapa tidak bilang saja jika merindukannya? Dia bukan cenayang yang bisa membaca pikiran, bukan?
Lantas, ia tersenyum kecil. Lengkungannya pasrah terlihat sendu. Tengadahnya penuh akan rindu. Binar matanya seakan tak lagi hidup. Ia benar-benar rindu. Selebih apapun, sekurang apapun, ia tenang terbelenggu akan rindu yang diceritakan padaku.
"Nggak bisa, dia aja nggak ingin aku kangen sama dia."
Sesak yang ia ucapkan tersalurkan. Atmosfer malam menambah kecanggungan. Ia kembali menulis kata pada lembar berikutnya. Menuliskannya pelan, penuh penghayatan. Seakan itu akan menjadi karyanya yang luar biasa, karyanya yang paling berharga.
"Kamu tahu? Kebuai rindu itu nggak enak. Kalau bisa, aku pengen mutar waktu, biar kita nggak pernah ketemu."
Ceritanya seperti tak ingin berakhir sampai disana. Namun sesak yang ia tahan sangat kentara. Ia benar-benar tersiksa oleh rindunya. Lalu ia membakar nama yang baru saja ia tuliskan. Membakarnya dengan tenang.
"Kalo bisa di masa depan, kita nggak usah lagi ketemu. Rindu itu nyusahin soalnya. Ngeselin banget."
Pada kertas yang sudah usang, yang sudah berubah menjadi abu hitam, aku yakin banyak kenangan yang ia wakilkan pada sebuah nama. Banyak bahagia, sedih dan kecewa disana. Sialnya, ia terus terbelenggu pada sebuah nama itu. Lebih bodohnya, ia tak ingin maju untuk menerima orang baru.
Ia terus menulis, lalu membakarnya lagi. Menulis satu nama. Kadang terselip juga namanya. Begitu terus sampai aku lelah melihatnya.
"Kenapa nggak pergi aja?" Akhirnya aku kembali membuka suara.
Ia menoleh cepat. Gurat kemarahan nampak di wajahnya. Air mukanya menjadi tidak bersahabat. Padahal mulanya kita baik-baik saja. Ia yang mengundangku dan ingin bercerita.
"Dia terlalu istimewa." Jawabnya lirih pasrah. Persis seperti orang yang sedang lemah.
Lalu ia kembali nembiarkan dirinya terbelenggu pada rindunya. Pada sebuah nama yang ia benci juga ia rindukan pada waktu yang sama. Dia bergitu terkekang. Apa tidak sakit merasakan demikian? Ada banyak bebas yang ada diluaran sana. Ada banyak cerita yang bisa ia buat jika ia mau menjalankannya. Kenapa ia begitu bodoh ingin bertahan pada satu nama?
Kulihat ia kembali meminta pada semesta. Sampai aku tak habis pikir dengannya. Benar-benar bodoh sampai aku berniat pergi meninggalkannya, meninggalkan segala cerita tentang rindunya.
Dengan memejam ia berkata; tolong sampaikan rindunya, Semesta.
Komentar
Posting Komentar