Malam itu sendu. Tepat sekali ketika ingin mengadu nasib kala rindu menggebu-gebu. Dalam diam mungkin tak terutarakan. Namun sebenarnya tak demikian. Ada rasa ingin jumpa, ada harap yang ia pinta pada semesta. Entah kenapa sabarnya terlalu lama. Rindunya dibiarkan semakin menganga. Padahal ia tahu, ia bisa jumpa jika ia mengungkapkannya. Ia datang dengan segala pengharapan, mengundangku untuk duduk disisinya, bersiap memulai cerita perihal rindunya. Ia bersenandung pelan, mengawali ceritanya ditemani berlembar kertas kosong juga lilin yang menyala terang, ditengah gelapnya semesta yang tak memberikan cahayanya. Kobar lilin itu menyala seperti rindunya. Dalam lembar kosong ia tuliskan sebuah nama yang ia rindukan. Ia tulis pelan-pelan. Ia tulis penuh pengharapan. Inginnya, ia akan melihat nama yang ia tuliskan terbaca indah, nama yang ia rindukan. Kutanya, kenapa tidak bilang saja jika merindukannya? Dia bukan cenayang yang bisa membaca pikiran, bukan? Lantas, ia ...
in empty and trying to be a human.